DemokrasiKepemimpinan

Kalau Pemimpin Gagal Berpikir

Matimpedia.com-Media online VoxNtt pada prolog Juli lalu memuat kabar yang cukup mengejutkan. Tak tanggung-tanggung diberitakan sekitar 22 kepala desa di NTT tersandung kasus korupsi dana desa. Modusnya pun beragam. Faktanya dana desa sejak kemunculannya bukan hanya datang membawa kabar gembira, implementasinya menggoreskan sejumlah catatan kritis. Problem paling fatal ialah korupsi, baik oleh aparat desa maupun kepala desa. Konflik kebijakan ini berpotensi menciptakan pembangunan desa terlihat mandul dan susah berkembang maju sebab sikap kepemimpinan dihidupi dalam suatu orientasi buruk. Sepatutnya, pemahaman konseptual soal dana desa sebagai sebuah kebijakan publik, dasar kebijakan, visi maupun tujuan ialah aspek vital yang pertama-tama mesti tumbuh di benak para kepala desa. Dengan begitu mereka paham bahwa dana desa bukan sekedar bantuan uang, melampaui itu, sebuah sistem kebijakan yang memuat basis nilai tertentu.

Fenomena Gagal Pikir

Sebuah kebijakan publik lahir dilatari tekanan yang menyerupai kesulitan kolektif rakyat dan hanya dapat diatasi melalui intervensi pemerintah. Persoalan publik membentuk isu kebijakan. Isu kebijakan berkenaan dengan dua hal, yakni sesuatu yang sedang dan atau sudah terjadi dan realitas yang hendak direbut di masa depan. Guna mendukung implementasi Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, maka kebijakan dana desa dibuat. Kebijakan dana desa ialah salah satu upaya pemerintah menjawab krisis multidimensi yang mekar dalam ragam bentuk; fakta luas kemiskinan, ketertinggalan, dan keterbelakangan pembangunan di desa. Situasi ini kemudian terselamatkan oleh gagasan Jokowi “Membangun Indonesia Dari Pinggiran”.

Dalam konteks NTT, kemiskinan, ketertinggalan dan keterbelakangan pembangunan terkonfirmasi, mendarat di desa. Hemat penulis, isu ketertinggalan pembangunan desa-desa di Indonesia menjadi basis utama pemikiran bagi munculnya kebijakan dana desa. Sementara edukasi rakyat sebagai subyek pembangunan, penguatan SDM dan ekonomi desa, akselerasi pelayanan dasar, serta demokratisasi tanpa ingoransi terhadap nilai sosial budaya ialah visi dan proyeksi masa depan. Pada kebijakan dana desa, konsepsi ini tersimpan secara padat. Praktisnya, dana desa amat potensial untuk bikin penuh otak, perut, dan dompet rakyat. Namun impian ini justru terbalik dengan obsesi busuk sebagian kepala desa di NTT. Mereka mengira dana desa sebatas dana bantuan pemerintah pusat kepada desa, tanpa memeriksa esensi dibalik kebijakan tersebut. Akibatnya, penggunaan anggaran menjadi liar dan salah arah.

Kegagalan berpikir soal kebijakan dana desa hemat penulis dilatari beberapa aspek; Pertama, kompetensi. Krisis ini tampil dalam wujud ketidakmampuan memahami kebijakan tersebut secara konseptual, membaca muatan keutamaan didalamnya. Kompetensi ini bukan saja soal kemampuan kognitif tapi kompetensi moral. Kompetensi moral adalah kompetensi kedua yang mesti dimiliki pemimpin sehingga ia dapat memilah baik dan buruk dalam formulasi kebijakan. Kedua, komitmen politik. Kepala desa dengan kualitas komitmen politik yang rendah adalah pintu masuk bagi pembangunan yang babak belur. Mengapa? Sebab jabatan politik tak didasari komitmen transformatif. Sikap responsif terhadap suatu peluang seperti program dana desa cenderung minim. Kekacauan ini berproses secara signifikan lalu membuat desa tenggelam dalam kemelut berkepanjangan. Ketiga, efek demokrasi pilkades. Oknum kepala desa yang menghabiskan masa kampanye pemilihan kepala desa dengan melakukan transaksi money politic memuluskan nafsu politik bakal melihat pesona dana desa sebagai salah satu opsi guna mengembalikan cost politic tersebut.

Bila situasi ini laju mengendap dalam otak kepala desa maka desa akan berlari di tempat. Pembangunanmengalami disorientasi, pelayanan serba stagnan dan rakyat terus terkungkung dalam keterpurukan. Visi besar kebijakan dana desa tentunya peningkatan taraf hidup rakyat pedesaan. Semangat ini lenyap seketika tatkala kepala desa gagal menerjemahkannya ke dalam format kepemimpinan. Mereka lupa, kepala desa sebagai policy maker punya keterbatasan waktu dalam membuat kebijakan. Mereka bukan raja dengan jabatan seumur hidup. Oleh Undang-undang mereka diberi waktu 6 (enam) tahun untuk bekerja, maka dana desa semestinya merupakan jalan keselamatan guna mendukung aksi pembangunan.

Kasus ini justru berlawanan dengan kepemimpinan beberapa kepala desa di Jawa, yang dalam pengamatan penulis menampilkan suatu gairah produktivitas, berlomba-lomba menjadi unggul. Sebut saja Desa Ponggok di Klaten, Desa Pujon Kidul di Kota Batu. Dua desa tersebut mewakili inovasi, kreativitas serta kompetensi dalam menangkap peluang strategis dana desa. Dalam kasus desa Ponggok misalnya, kita bisa saksikan bagaimana dana desa mengangkat potensi utama desa yakni air untuk membuka akses lapangan kerja lewat sektor pertanian, perikanan dan wahana wisata umbul/kolam sehingga berdampak pada ekonomi masyarakat desa. Sementara di desa wisata Pujon Kidul, dana desa difungsikan guna memacu keberadaan potensi desa yakni perkebunan, peternakan, dan pertanian dengan wisata khasnya kafe sawah dengan pendirian Bumdes. Gebrakan ini berdampak pada ketersediaan lapangan kerja di desa.

Konstruksi berpikir soal dana desa sebatas dana bantuan semata mesti dikubur dalam-dalam. Para kepala desa hendaknya berpikir kebijakan dana desa sebagai produk Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa memancarkan spirit pembangunan dan pemberdayaan. Bagaimana aktivitas pembangunan bergerak optimal dan bagaimana rakyat dididik untuk ikut terlibat dalam menentukan arah pembangunan desa, dan juga mampu membangun taraf hidup yang layak.

Ketika kebijakan publik dibuat, pemerintah tengah mengusung seperangkat nilai dan tujuan tertentu. Seperti kebijakan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang pemerintahan daerah, kebijakan tersebut membawa penghormatan terhadap nilai demokrasi sekaligus pemberdayaan, dimana pemerintah daerah diberi kewenangan untuk membangun rumah tangganya dan rakyat didorong untuk kritis dan partisipatif dalam geliat pembangunan daerah.

Dengan demikian kita berharap ke depan muncul kepala desa yang paham intisari kebijakan dana desa, kompeten, inovatif dan responsif terhadap sisi gelap pembangunan desa, memiliki pandangan yang jelas dan jernih soal masa depan desa, serta mampu menjawab kegelisahan rakyat lewat program dan kebijakan pembangunan yang relevan. Tanpa pemimpin dan kepemimpinan yang baik, dana desa akan sia-sia, desa pun akan terus merintih dalam krisis dan dilema.

* Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa

Artikel ini telah dimuat di media online VoxNtt pada 20 Juli 2019 dengan judul “Kala Elit Di Desa Gagal Berpikir

Yergo Gorman

Selamat datang dan terima kasih telah mampir sejenak di Matimpedia. Matimpedia merupakan website pribadi saya yang berisi opini, artikel, analisis, dan perspektif tentang kebijakan pembangunan di Kabupaten Manggarai Timur – NTT

Artikel Terkait

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Back to top button