Kegenitan Dalam Kampanye
Buka Mata, Hati dan Pikiran
Fight Like Ahok, sebuah video dokumenter tentang kampanye Ahok pada perhelatan pemilihan umum legislatif 2009 silam untuk merebut kursi DPR RI menghidupkan sebuah gaya baru berkampanye. Gaya Ahok mewakili gagasan dalam upaya melawan segala daya oportunisme dan aksi-aksi transaksional yang selalu hangat dalam duel pemilu. Saat berkampanye, Ahok secara tegas menolak memberi uang kepada warga apapun tujuannya, permintaan proposal pengadaan barang dan sebagainya. Baginya demokrasi bakal rusak bila rakyat berubah menjadi pragmatis dan “dibayar” selama kampanye.
Kualitas demokrasi terlemahkan dan cenderung stagnan karena rakyat memakai momentum pemilu sebagai ajang mencari keuntungan materil. Kenyataan ini makin pelik ketika seorang kontestan malah turut memproduksi bahkan berpartisipasi melanggengkan kekacauan ini. Pada forum pertemuan, Ahok mendidik warga untuk mampu menjadi pemilih rasional, melihat problem pembangunan secara kompherensif, dan memahami kualitas kandidat.
Kampanye politik hari ini justru menampakan sebuah kontradiksi terhadap gaya tersebut. Pertama, rakyat diseret untuk menjelma menjadi pemilih tradisional, yang memfokuskan penilaian politiknya pada aspek emosional, seperti relasi atau hubungan darah, kekerabatan dan sejenisnya. Mentalitas ini mencuat pada sosok kandidat yang meminta dukungan konstituen dengan alasan faktor kekeluargaan dan atau memiliki kesamaan kultural tertentu. Imajinasi publik dibikin beku dan tidak dibiarkan aktif guna menganalisis visi, program, dan rekam jejak sang kontestan. Pikiran publik dikerdilkan dan serba pasrah pasif di hadapan logika kekeluargaan. Pemandulan terhadap segenap potensi dan pemikiran pun menjadi sahih dan terlegalkan.
Fenomen ini dapat terjadi bila sang kandidat tak memiliki sepak terjang perjuangan sehingga kesulitan menawarkan produk idealismenya ke publik. Namun bila pikiran publik sukses dikendalikan melalui strategi ini, salah satu problem yang bakal muncul ialah nepotisme, transaksi balas jasa terjalin diantara kontestan dan konstituen terutama bila sang kontestan memiliki jaringan di birokrasi pemerintahan. Tampaknya nepotisme di tubuh birokrasi lokal akan terus mengakar manakala sikap politik rakyat saat pemilu selalu tuntas dikuasai oleh pendekatan konyol ini.
Kedua, terdapat kandidat tertentu baru menunjukan perjuangannya untuk rakyat menjelang pileg. Mereka aktif provokasi dan konsolidasi massa. Dalam waktu singkat, mereka berubah menjadi sosok idealis, nasionalis, humanis, dan peduli terhadap persoalan masyarakat. Mereka tak paham kalau politik itu soal pandangan. Rakyat dikondisikan untuk pergi pada kedunguannya lewat aneka pendekatan. Politik mensyaratkan terciptanya hubungan relasional dengan rakyat. Relasi ini mesti terbentuk dalam jangka waktu yang lama. Dengan demikian memori publik dipenuhi jejak sang kandidat. Publik pun mengetahui sosok kandidat dengan baik dan kandidat pun sungguh memahami persoalan rakyat. Relasi yang muncul menjelang pileg sarat pragmatisme. Publik dibawa ke dalam kebingungan akut soal identitas maupun motivasi politiknya. Kapasitas apa yang dimiliki seorang kontestan sehingga layak untuk didukung.
Ketiga, money politic. Strategi ini marak dimainkan oknum kandidat tertentu bila ia yakin tak memiliki kredibilitas dan legitimasi publik di bilik suara. Karena itu, ia merenggut martabat seseorang dengan uang demi kepentingannya. Money politic ialah representasi mutlak kemunduran berpikir. pertanda seorang kandidat gagal merebut kepercayaan publik.
Sekelumit kegenitan tersebut hanya dapat dilawan dengan mendudukan rasionalitas sebagai pisau analisis melihat seorang kandidat. Visi misi, program dan rekam jejak kandidat dicermati secara jernih. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya mengetahui kompetensi dan kualitas kandidat. Konsepsi ini pun bertujuan agar pemilu legislatif mampu mencetak legislator unggul, yang menguasai problem rakyat, mampu mengambil solusi dan berjuang mencapainya. Lebih dari itu mencegah yang buruk berkuasa. Kualitas demokrasi lokal tidak saja diukur dari intensitas publik untuk terlibat mengoalkan tujuan pemilu, namun tumbuhnya sikap politik yang mampu mengukur individu kontestan secara kompherensif-rasional. Dilema strategi kampanye di atas meminta rakyat untuk bersikap waras bahwa desain strategi kampanye pemilu selalu memiliki efek strategis terhadap kehidupan pembangunan daerah. Keadilan dan kesejahteraan semua lapisan masyarakat jauh lebih mulia dibanding kepentingan kelompok tertentu.
Kampanye sebagai media sosialisasi sepatutnya memantulkan spirit pencerdasan. Rakyat dididik untuk tampil sebagai subyek kritis serta memiliki ruang untuk menganalisis dan menilai setiap kontestan yang muncul. Kritisisme dibangkitkan dan perspektif politik dibuka seluas-luasnya. Diskursus diangkat dalam forum tatap muka dan bukan komunikasi satu arah. Dengan demikian, kesadaran politik rakyat terangkat sampai pada level analitis-kritis menembus tradisi kampanye minta dukungan semata.
* Lulusan Studi Kebijakan Publik Pada Program Pascasarjana Universitas Merdeka Malang