Mencari Pemimpin Yang Bukan “Pemimpin”
Matimpedia.com-Manggarai Timur sedang cari pemimpin baru, sosok yang lebih mampu dan berani untuk pertama-tama punya visi dan goal yang jelas arah, daerah ini mau jadi daerah macam apa lalu bersih-bersih tubuh birokrasi dari isu-isu mark up anggaran, korupsi, dan nepotisme. Salah pilih pemimpin Manggarai Timur di 2024 sama dengan membuang usia daerah ini 5 (Lima) tahun ke depan. Karena itu sebagai komunitas warga perlu ada kritisisme kolektif untuk bijak memeriksa kesulitan bersama kita dalam pembangunan. Problem yang merenggut hak politik kita sebagai warga negara. Hak-hak rakyat untuk nikmati jalan raya, air minum bersih, listrik, pekerjaan layak dan kemampuan untuk penuhi kebutuhan hidup sehari-hari.
Hampir 5 (Lima) tahun usia kekuasaan pemerintah di Manggarai Timur ini, pembangunan kita memperlihatkan sejumlah dinamika. Mulai dari daerah dengan berbagai predikat, pariwisata desa, Kabupaten Miskin Ekstrim, dan di infrastruktur ada trend peningkatan infrastruktur jalan raya di beberapa titik lokasi.
Banyak Baptisan
Daerah ini sejak 5 (Lima) tahun terakhir dibaptis dengan begitu banyak predikat. Mulai dari Kabupaten Literasi, Kabupaten Ramah Anak, Kabupaten Ternak, Bebas Stunting, dan sebagainya. Merayakan predikat yang “ritual-formalistik’ itu tanpa sadar membawa kita pada suatu kecemasan eksistensial, sebetulnya daerah ini mau dibawa kemana? Bukankah predikat itu sebuah konsekuensi final dari suatu kontinuitas kerja pembangunan? Daerah ini seolah-olah banyak sibuk tapi sebetulnya lari di tempat. Faktanya predikat tersebut nyaris tak memperlihatkan signifikasi pada transformasi pembangunan.
Kerja-kerja literasi di daerah sejauh ini mutlak dimainkan oleh kelompok atau komunitas masyarakat. Literasi bukan lagi sebatas aktivitas baca tulis, tapi mulai dari produksi dan penyebaran ide maupun wacana transformatif di ruang publik sampai terlibat konkret pada suatu isu pembangunan. Literasi tampil dalam ragam bentuk, seperti forum-forum diskusi publik, donasi buku, penelitian, aksi-aksi partisipatif untuk kemanusiaan, dan sebagainya. Kita perlu lacak program Pemda dalam membangun iklim literasi publik di Matim sejauh ini. Predikat ini semacam eksistensi yang mendahului esensi.
Awal 2020 lalu Pemda Matim turut memproklamirkan diri sebagai Kabupaten Ramah Anak. Kebijakan itu lahir sebagai refleksi terhadap UU No. 35 tahun 2014 tentang Perlindungan Anak. Faktanya hingga Maret 2022 lebih dari 10 kasus kekerasan terhadap anak telah dilaporkan ke Polres Manggarai Timur (Labuan Bajo Terkini.com). Tampilan kebijakan ini menunjukan impian dan kenyataan yang tidak berbanding lurus. Daerah ini ingin jadi tempat bermain yang layak bagi anak-anak tapi dibajak oleh praksis kekerasan.
Akhir 2021 lalu Manggarai Timur salah satu Kabupaten di NTT yang memperoleh predikat Kabupaten Miskin Ekstrim. Kemiskinan ekstrim ini menyebar di 25 desa di seluruh Manggarai Timur. Persoalan itu dijawab dengan kebijakan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada masyarakat yang bersumber dari Dana Desa, pemberdayaan ekonomi lokal, dan akses terhadap layanan dasar. Hemat saya opsi kebijakan ini hanyalah suatu ilusi administratif. Butuh kajian khusus dan riset untuk masuk lebih dalam dan tahu akar kemiskinan ekstrim. Di dalam konteks negara, kemiskinan bukanlah sesuatu yang inheren dalam hidup. Apalagi trauma sosial yang diterima sebagai kewajaran hidup. Kemiskinan ialah problem struktural dan hasil pengkondisian pikiran yang relatif lama. Kemiskinan harus dibongkar sehabis-habisnya.
Matim Butuh Pemimpin Macam Apa?
Masing-masing kita tentu punya evaluasi pribadi soal problem pembangunan Manggarai Timur dan kriteria pemimpin macam apa yang connect terhadap sekelumit persoalan itu. Saya coba mengajukan beberapa kriteria praktis sosok pemimpin yang Matim butuhkan saat ini. Tidak perlu muluk-muluk. Hemat saya Manggarai Timur butuh pemimpin yang cerdas dan berani, dengan konkretisasi sebagai berikut; Pertama, visioner. Sosok yang tahu dalam kepemimpinannya daerah ini mau jadi daerah seperti apa. Ada visi khusus yang mau dicapai di akhir kepemimpinan kelak. Misal daerah bebas jalan rusak, elektrifikasi seluruh desa, peluang lapangan kerja, transparansi anggaran, dsb. Ada suatu goal yang menjadi misi besar. Dalam studi kebijakan publik, kepemimpinan ialah kunci dari seluruh ritme kebijakan. Tanpa kepemimpinan yang baik, kebijakan publik akan menjadi liar dan krisis arah.
Kedua, pembuatan kebijakan publik berbasis riset dan kajian. Aspek kedua ini butuh komitmen politik yang kuat untuk memastikan setiap agenda kebijakan daerah didahului dengan desain riset kajian. Konflik dalam tubuh kebijakan ialah tegangan antara kepentingan politik dan kajian akademik. Kajian akademis kebijakan seringkali lumpuh total di bawah kuasa kepentingan. Muncullah produk kebijakan yang stagnan dan gagal fungsi akibat krisis kajian. Persoalan ini hemat saya pun terjadi pada pembangunan Terminal Kembur di Borong yang saat ini lagi ramai didiskusikan karena dugaan korupsi. Sejak dibangun 2013 silam sampai hari ini Terminal itu tidak difungsikan.
Ketiga, berani jaga APBD untuk rakyat. Keberanian dan kemampuan teknokratis ini mesti jadi misi khusus dalam spiritualitas seorang pemimpin daerah ke depan. Karena pembangunan butuh anggaran, ia mesti pastikan birokrasi bebas dari segala bentuk isu mark up anggaran, korupsi dan nepotisme yang seringkali jadi penghambat bagi belanja-belanja publik. Ia mesti punya inovasi untuk datangkan uang ke daerah dengan tidak terlalu berharap pada Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK).
Keempat, kolaborasi dan berbasis enterpreneurship. Kolaborasi dan kepemimpinan enterpreneurship merupakan salah satu pendekatan praktis dalam studi kepemimpinan publik. Bagaimana mengelola potensi-potensi lokal baik SDM dan SDA sesuai pendekatan atau nilai-nilai di sektor swasta, seperti baca peluang pasar, efektivitas, memiliki target yang jelas, produktivitas, rasional, inovasi. Kelola sumber daya manusia maupun potensi alam di Matim tak bisa lagi pakai pendekatan birokratis. Pendekatan birokratis harus dikubur dalam-dalam. Pemimpin Matim ke depan mesti punya paradigma enterpreneurship agar sumber daya alam kita menghasilkan sesuatu yang berdampak untuk masyarakat baik sosial, budaya, ekonomi dengan tetap mengacu pada prinsip pembangunan berkelanjutan.
Setiap kita punya pandangan berbeda dalam memilih pemimpin. Pastikan sikap politik kita berbasis rasional-etis. Keputusan politik yang dipandu oleh kejernihan mata, hati, dan pikiran untuk melihat tantangan dan persoalan yang kita hadapi bersama. Manggarai Timur butuh pemimpin yang tahu kemana kita akan melangkah, sosok pemimpin yang lebih dari sekedar “pemimpin”.
* Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa