Mungkinkah Ekowisata Hidup Di Matim?
Matimpedia.com-Sudah lewati 12 tahun usia daerah ini, salah satu sektor yang nyaris terlupakan dalam geliat pembangunan ialah pariwisata. Sektor wisata di Matim pada praksisnya belum munculkan tanda-tanda kehidupan. Tampaknya terlihat biasa saja. Beberapa pertanyaan substantif yang kemudian keluar dari fenomena ini yakni apakah sektor wisata ialah sesuatu yang penting dalam pembangunan daerah? Apakah sektor wisata tidak masuk dalam prioritas pembangunan? Atau apakah pemda dan masyarakat belum siap mental tuk masuk dalam “diskursus” pariwisata lokal? Lebih dari itu, perlu dilacak, konsep pariwisata yang cocok dan relevan dengan potensi lingkungan sosial budaya lokal.
Ekowisata di Matim: Sebuah Format Baru
Ekowisata tengah jadi tren global. Konsep ini muncul tuk melawan bisnis pariwisata yang serba kapitalistik, privatisasi aset, eksploitasi lingkungan, degradasi kultural, sampai pada pengabaian terhadap eksistensi warga lokal. Sekelumit persoalan itu dinilai membelenggu spirit maupun sisi kreativitas warga untuk partisipatif dan berkembang dalam pembangunan wisata. Ekowisata digagas dalam upaya menciptakan sustainibilitas dengan mempertimbangkan kelestarian lingkungan, edukasi, serta pemberdayaan sosial, budaya, dan ekonomi warga.
Lebih dari sekedar promosi potensi, revitalisasi nilai maupun identitas lokal lengkap dengan segala kearifannya ialah esensi utama Ekowisata. Kegiatan ini mau menjaga kearifan lokal dari hantaman dan ciuman maut modernisasi. Oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, pemerintah daerah kemudian diminta jadikan ekowisata sebagai opsi terbaik bagi pengembangan wisata lokal.
Mungkinkah ekowisata hidup di Matim? Butuh kajian holistik untuk sampai pada level ini. Kajian itu memuat soal ragam potensi wisata, baik lingkungan alam, adat dan budaya, sejarah lokal setempat, hasil bumi, infrastruktur pendukung dan penghambat, kesiapan SDM lokal, edukasi dan pemberdayaan, konsep dan branding strategy, sampai pada trend dan segmentasi pasar. Ekowisata bukan lagi soal kepuasan indrawi pada suatu objek, melampaui itu ada sebuah interaksi dan diskursus sosial budaya, dan lingkungan yang bergumul dalam aktivitas wisata.
Kita semua tahu, keunikan alam dan budaya penuh sesak hidupi desa-desa di Manggarai Timur. Semua itu membentang dari sudut ke sudut daerah ini. Seperti eksotisme alam, sejarah dan budaya tersimpan rapi di desa-desa yang selimuti Colol raya, seperti kebun agrowisata kopi, air terjun, dan benteng di desa Colol. Sementara di desa Ulu Wae, bendera Belanda masih ada hingga saat ini. Konon bendera itu diberikan oleh pemerintah kolonial Belanda sebagai apresiasi dan penghargaan kepada Desa Ulu Wae yang jadi pemenang dalam perlombaan kopi.
Begitu pun panorama alam dan kekayaan adat di desa Compang Teber. Desa Compang Teber pada 2014 lalu dicanangkan sebagai desa adat oleh pemerintah daerah Kabupaten Manggarai Timur. Konon batu persembahan di tengah kampung Teber, atau dalam bahasa lokal Manggarai disebut Compang dibangun dengan bantuan jin atau dalam bahasa Manggarai disebut darat. Meminjam istilah alm Prof. Alo Entah, putera asli Teber, desa Compang Teber memperlihatkan adanya “Interaksi” antara agama Katolik dan adat Manggarai. Interaksi ini disimbolkan dengan keberadaan Patung Bunda Maria tepat disamping pohon Ruteng/pu’u ruteng di tengah desa. Walau begitu narasi sejarah adat setempat masih terkubur dan belum diangkat secara optimal. Desa Golo Loni pun menampilkan keindahan serupa. Letaknya yang strategis sering membuat siapa saja yang melewatinya bakal berhenti sejenak tuk menikmati panorama alam dari ketinggian.
Patut kita sadari, benih-benih ekowisata tumbuh subur di desa-desa di Matim. Sumber daya itu sepatutnya jadi basis bagi tampilnya perubahan. Apalagi dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa, desa punya kemampuan untuk menentukan pembangunannya sendiri. Bangkit dari segenap keterpurukan, ketertinggalan dan tipu daya kemiskinan sistemik. Melangkah maju dan bikin rakyat berdaya secara sosial ekonomi serta punya kemampuan tuk menentukan kebaikan bagi diri sendiri dalam skema demokrasi. Dalam konteks ini, ekowisata dapat menjadi amunisi mencapai visi transformasi desa. Namun khayalan itu seringkali redup dan dimatikan substansinya oleh problem destruktif tertentu. Persoalan itu barangkali juga menjadi penyebab utama peluang ekowisata dibatalkan potensi kemunculannya.
Hemat penulis, seluruh kekacauan ini termanifestasi dalam rupa krisis paradigmatik. Pertama, persepsi soal wisata. Imajinasi wisata oknum kepemimpinan di desa masih sebatas panorama alam. Jadi, bila desa tak punya spot pemandangan yang bagus, maka mustahil desa itu dikeroyok sektor wisatanya. Kenyataannya, selain potensi alam, desa-desa di Matim juga memiliki perspektif nilai, adat dan fakta historisitas yang kuat. Problemnya, sumber daya ini tidak masuk dalam analisis kekuasaan sebab konsep wisata dalam logika pemimpin berhenti pada konsep alam. Kedua, kelesuan sensitivitas. Dilema ini tergambar dalam kemalasan pemimpin untuk peka terhadap berbagai produk alami. Pada akhirnya potensi itu tak memberi dampak signifikan dalam pembangunan desa. Ketiga, desa didesain berjalan serupa mesin birokrasi, dimana kesibukan administratif merupakan ritme dan pola kerja harian, tanpa paham bahwa desa merupakan entitas strategis, tempat segala sumber daya lokal terkandung. Cara berpikir ini mesti dibongkar kalau desa mau maju.
Keempat, ketergantungan sistemik pada bantuan pemerintah pusat. Derasnya segala jenis bantuan yang mengalir ke desa secara tak langsung menciptakan suatu ketergantungan sistemik, dan membuat paradigma pemimpin terjebak dalam sikap pasif serta krisis niat mendeteksi “modal” sosial budaya yang dimiliki desa.
Ekowisata seutuhnya punya masa depan di Matim. Proyeksi ini bukan tanpa alasan, dengan mengamini bahwa peluang-peluang ekowisata terbentang luas di seantero desa-desa di Matim. Sebaliknya ekowisata bakal sulit bertumbuh bila kepemimpinan hari ini masih mengalami krisis paradigmatik. Realitas peluang ekowisata di desa sontak menjelaskan bahwa prospek dan kemajuan wisata lokal hari ini bukan semata-mata tugas dan tanggung jawab pemerintah daerah. Intervensi niat, program dan kebijakan ekowisata pertama-tama mesti hidup dalam kepemimpinan di desa.
Inovasi dan political will para pengambil kebijakan di level desa perlu diperkuat lewat agenda kebijakan penguatan potensi lokal. Maka butuh revolusi kepemimpinan. Kepemimpinan birokratis tak layak dijadikan pegangan dalam menggerakan ekowisata desa. Kepemimpinan ideal dalam kajian pengembangan ekowisata salah satunya ialah kepemimpinan berbasis enterpreneurship. Kepemimpinan ini mengibaratkan kepala desa seperti seorang CEO perusahaan yang memiliki keinginan kuat untuk identifikasi, kelola, dan “menjual” produk lokal menuju pemberdayaan sosial, budaya, ekonomi dan lingkungan warga desa.
Style kepemimpinan ini berusaha keras menguburkan kerumitan birokratis dengan banyaknya aturan baku. Selama ini sistem itu hanya melahirkan rutinitas tanpa membaca keinginan zaman. Sebagai lawannya, kepemimpinan ini mengedepankan gaya manajemen swasta. Mengenal potensi desa dalam pendekatan SWOT, visioner, inovatif, kreatif, kompeten, orientasi hasil, kemitraan dengan berbagai pihak, networking, serta kemampuan menciptakan pasar ialah pola baru kepemimpinan berdesa.
* Lulusan Studi Kebijakan Publik, Minat Literasi dan Kajian Pembangunan Desa
Artikel ini pernah diterbitkan pada media online Florespost. co