Perempuan Di Ruang Publik
*Joanes Pieter P. A. Calas
Matimpedia.com-Dalam banyak kesempatan mata kita seringkali dimanjakan oleh lemahnya keterlibatan Perempuan di ruang publik, sekilas pemandangan yang sebetulnya tidak mencerminkan keadilan.
Masalahnya kesadaran kita belum tuntas melihat lebih dalam apa dan mengapa fenomena ini terjadi. Sebenarnya fenomena ini tampak problematik jika ketajaman rasional bisa kita maksimalkan.
Sadar atau tidak sebenarnya ruang publik kita selama ini adalah tempat bagi perampasan hak-hak perempuan dari semua dimensi kehidupan. Laki-laki menjadi kelompok dominan juga penentu arah keputusan, baik mikro maupun di level makro serta menjadi penyebab adanya krisis lingkungan sosial bagi mereka.
Isu isu kesetaraan gender ini masuk bersama beberapa isu isu lainnya di akhir abad ke dua puluh selain lingkungan hidup dan LGBT dalam teori gerak sosial baru (The social movement) setelah adanya penindasan yang berkepanjangan terhadap perempuan selama berabad abad lamanya.
Kurangnya partisipasi perempuan dalam ruang publik seakan memperkuat kesimpulan bahwa kondisi demikian menjadi takdir yang harus diterima.
Hal ini sebetulnya sebuah kontraproduktif jika dicermati lebih mendalam, sebab konstruksi sosial kita lebih awal merampas segala urusan yang mempunyai posisi tawarnya baik menjadi urusan laki-laki sementara kaum perempuan selalu diidentikan dengan urusan logistik rumah tangga.
Sebagai asumsi awal saya atas kesenjangan ini, perlu kita cermati bahwa pertumbuhan ekonomi lokal datang dari jari-jari kaum perempuan sebagai pemeran utama seperti penjual sayuran di pasar, membuat kue ataupun produk produk rumah tangga lainnya, hanya saja arogansi maskulin tidak menghitung itu sebagai denyut nadi dari seluruh pertumbuhan ekonomi.
Ini adalah satu dari sekian banyak kesenjangan yang selama ini dipikul oleh kaum perempuan dalam rentang waktu yang sangat lama, sehingga seakan menjadi takdir. Kita perlu tahu bahwa segala sesuatu yang sifatnya takdir bukanlah ditentukan oleh manusia tapi Tuhan.
Generasi Kedua Hak Asasi Manusia
Teori gerak sosial baru menekankan kesetaraan gender sebagai isu seksi yang perlu diperhatikan lebih serius, sebab selain memiliki hak untuk hidup, manusia juga punya hak untuk mendapatkan kesetaraan dan akses yang sama dalam semua kesempatan.
Dalam panggung politik, perempuan seringkali dijadikan sebagai objek yang “apa yang bisa” diperlakukan oleh elite, tapi tidak pernah untuk “bagaimana mereka diberdayakan” sehingga keterlibatan mereka dalam politik hanya sebatas pemilih yang suaranya merdu di dalam kotak suara.
Kita semua mengharapkan adanya perjumpaan pengharapan dan kesadaran untuk merobek setiap sekat yang membatasi mereka selama ini, sehingga mereka tidak cuma merdu di kotak suara, tapi suara mereka mampu melampaui itu dan bisa mempengaruhi kebijakan sosial. Kita juga ingin mereka tumbuh dengan asuhan kehidupan sosial yang sadar untuk semua kalangan.
Pada prinsipnya keterlibatan mereka dalam panggung politik harus dilihat sebagai sebuah etic of care bukan karena sebagai sarana untuk memenuhi sebuah persyaratan dan tujuan (etic of right) yang penuh dengan segudang kepentingan jangka pendek.
Pedagogi Kritis dan Budaya Demokrasi di Sekolah
Hendry Geroux seorang seorang pemikir dari Amerika yang merupakan sahabat Paulo freire mengatakan bahwa pedagogi kritis menawarkan pisau untuk melakukan kritik terhadap pandangan-pandangan lama yang sudah ketinggalan jaman.
Merumuskan pandangan baru tentang manusia dalam hubungannya dengan lingkungan sosial, dan mendorong orang untuk terlibat di dalam proses pembentukan masyarakat demokratis yang adil dan makmur.
Konsep pendidikan kita harus terkoneksi dengan dunia nyata. Anak-anak harus diasuh dan tumbuh dalam satu tradisi berpikir yang kritis dan tidak perlu asing dengan mimbar-mimbar akademik, karena sejatinya sekolah merupakan ruang perjuangan gagasan, ruang analitis, dan tempat kita bertanya tentang munculnya suatu fenomena.
Berangkat dari pandangan itu, bagi saya sekolah adalah sebuah laboratorium sosial mini. Siswa diasuh dengan sikap kritis untuk berani mempertanyakan sesuatu yang belum tuntas, sehingga segala kemungkinan yang sifatnya menindas bisa dicegah karena kehidupan sosial yang lebih lama hanya ada di masyarakat.
Di sekolah selama ini, pesta demokrasi sering diperankan oleh laki-laki sebagai aktor dominan. Kondisi ini sebetulnya memberikan sumbangan baru untuk kehidupan selanjutnya di masyarakat.
Akibatnya ketika kita bicara tentang Bupati atau Gubernur, kita sudah membayangkan sosok seorang laki-laki. Tentu kebiasaan ini tidak diharapkan muncul terus menerus.
Kami mengawali tahun ini dengan sebuah hajatan kecil. Ada perjumpaan harapan baik dalam ruang dialektika yang telah berhasil kami pungut dalam satu tahun terakhir untuk melepas dan menjemput apa yang disebut “Politik”. Itulah suara demokrasi yang sudah membudaya dan menjadi agenda rutinitas kami.
Demokrasi sejatinya adalah pesta rakyat, dimana martabat manusia dihargai. Suatu upaya untuk mencegah kejahatan berkuasa sekaligus media untuk melihat seorang manusia secara total dari bentuk aslinya, apakah kebaikan itu didesain untuk melancarkan suatu tujuan ataukah kebaikan itu muncul dari suatu upaya sadar.
Untuk itu di momentum ini kami belajar bersama mereka. Mencegah kepalsuan bekerja secara leluasa dan mengambil peran penting sebagai agen transformasi yang “berkelas” di abad ini.
Sehingga beberapa dekade yang datang kita tidak mengalami krisis figur yang bijak tapi edukatif dalam demokrasi. Impian emas kami adalah mereka tumbuh dan terus diasuh dengan tradisi intelektual seperti ini, ruang dialektika menjadi suatu pembiasaan di sekolah.
Menariknya, pesta demokrasi kali ini banyak diperankan oleh kaum perempuan sebagai calon pemimpin. Ini menunjukkan adanya gerakan emansipasi perempuan dalam panggung politik. Budaya demokrasi sudah naik kelas.
Kami berani menyampaikan ini ke publik, karena setiap calon yang maju telah melawan suatu mekanisme yang panjang dan rumit.
Kesadaran kelas untuk memimpin bagi perempuan adalah hak yang perlu kami apresiasi. Mereka datang dengan percaya diri, dan menunjukkan kemampuannya untuk menjadi agen transformasi politik kekinian.
Selain itu mereka ingin menunjukkan bahwa kepemimpinan sejatinya adalah bukan maskulinitas, untuk itu mereka mencegah dominasi maskulin dengan kualitas diri lewat panggung politik.
*Penulis Merupakan Pengajar Ilmu Sosiologi Pada Lembaga SMA Negeri 3 Borong Dan Aktif Dalam Gerakan Literasi Publik Di Kabupaten Manggarai Timur – NTT